Rabu, 09 September 2009

MENGETAHUI STATUS GIZI BALITA

Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini, bersifat irreversible (tidak dapat pulih).

Data tahun 2007 memperlihatkan 4 juta balita Indonesia kekurangan gizi, 700 ribu diantaranya mengalami gizi buruk. Sementara yang mendapat program makanan tambahan hanya 39 ribu anak.

Ditinjau dari tinggi badan, sebanyak 25,8 persen anak balita Indonesia pendek (SKRT 2004). Ukuran tubuh yang pendek ini merupakan tanda kurang gizi yang berkepanjangan. Lebih jauh, kekurangan gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak anak. Padahal, otak tumbuh selama masa balita. Fase cepat tumbuh otak berlangsung mulai dari janin usia 30 minggu sampai bayi 18 bulan.

anak_gizi_baikMenurut ahli gizi dari IPB, Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS, standar acuan status gizi balita adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), dan Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). Sementara klasifikasinya adalah normal, underweight (kurus), dan gemuk.

Untuk acuan yang menggunakan tinggi badan, bila kondisinya kurang baik disebut stunted (pendek). Pedoman yang digunakan adalah standar berdasar tabel WHO-NCHS (National Center for Health Statistics).

Status gizi pada balita dapat diketahui dngan cara mencocokkan umur anak (dalam bulan) dengan berat badan standar tabel WHO-NCHS, bila berat badannya kurang, maka status gizinya kurang.

Di Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), telah disediakan Kartu Menuju Sehat (KMS) yang juga bisa digunakan untuk memprediksi status gizi anak berdasarkan kurva KMS. Perhatikan dulu umur anak, kemudian plot berat badannya dalam kurva KMS. Bila masih dalam batas garis hijau maka status gizi baik, bila di bawah garis merah, maka status gizi buruk.

Bedanya dengan balita, status gizi orang dewasa menggunakan acuan Indeks Massa Tubuh (IMT) atau disebut juga Body Mass Index (BMI). Nilai IMT diperoleh dengan menghitung berat badan (dalam kg) dibagi tinggi badan kuadrat (dalam meter persegi). IMT normal bila angkanya antara 18,5 dan 25; kurus bila kurang dari 18,5; dan gemuk bila lebih dari 25. Sebagai contoh orang bertinggi 1,6 meter, maka berat badan ideal adalah 48-64 kg.

Parameter yang umum digunakan untuk menentukan status gizi pada balita adalah berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala. Lingkar kepala sering digunakan sebagai ukuran status gizi untuk menggambarkan perkembangan otak.

Sementara parameter status gizi balita yang umum digunakan di Indonesia adalah berat badan menurut umur. Parameter ini dipakai menyeluruh di Posyandu.

Menurut Prof. Ali, untuk membedakan balita kurang gizi dan gizi buruk dapat dilakukan dengan cara berikut. Gizi kurang adalah bila berat badan menurut umur yang dihitung menurut Skor Z nilainya kurang dari -2, dan gizi buruk bila Skor Z kurang dari -3. Artinya gizi buruk kondisinya lebih parah daripada gizi kurang.

anak_gizi_burukBalita penderita gizi kurang berpenampilan kurus, rambut kemerahan (pirang), perut kadang-kadang buncit, wajah moon face karena oedema (bengkak) atau monkey face (keriput), anak cengeng, kurang responsif. Bila kurang gizi berlangsung lama akan berpengaruh pada kecerdasannya.

Penyebab utama kurang gizi pada balita adalah kemiskinan sehingga akses pangan anak terganggu. Penyebab lain adalah infeksi (diare), ketidaktahuan orang tua karena kurang pendidikan sehingga pengetahuan gizi rendah, atau faktor tabu makanan dimana makanan bergizi ditabukan dan tak boleh dikonsumsi anak balita.

Kurang gizi pada balita dapat berdampak terhadap pertumbuhan fisik maupun mentalnya. Anak kelihatan pendek, kurus dibandingkan teman-temannya sebaya yang lebih sehat. Ketika memasuki usia sekolah tidak bisa berprestasi menonjol karena kecerdasannya terganggu.

Untuk mengatasi kasus kurang gizi memerlukan peranan dari keluarga, praktisi kesehatan, maupun pemerintah. Pemerintah harus meningkatkan kualitas Posyandu, jangan hanya sekedar untuk penimbangan dan vaksinasi, tapi harus diperbaiki dalam hal penyuluhan gizi dan kualitas pemberian makanan tambahan, pemerintah harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat agar akses pangan tidak terganggu.

Para ibu khususnya harus memiliki kesabaran bila anaknya mengalami problema makan, dan lebih memperhatikan asupan makanan sehari-hari bagi anaknya. Anak-anak harus terhindar dari penyakit infeksi seperti diare ataupun ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas).

Semua nutrisi penting bagi anak dalam usia pertumbuhan. Prof. Ali berpesan untuk memperhatikan asupan sayur dan pangan hewani (lauk pauk), konsumsi susu tetap dipertahankan, jangan terlalu banyak makanan cemilan (junk food) yang akan menyebabkan anak kurang nafsu makan. Perhatikan juga asupan empat sehat lima sempurna dengan kuantitas yang cukup.

Narasumber:

Tentang Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
prof_ali_khomsan

Ahli gizi dari IPB (Institut Pertanian Bogor) ini lahir di Ambarawa tanggal 2 Februari 1960. Mendapatkan gelar insinyur dari IPB pada tahun 1983. Selanjutnya tahun 1987 memperoleh gelar Magister Sains Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga dari IPB. Sementara gelar doktor dari Iowa State University, USA pada tahun 1991.

Prof. Ali merupakan dosen di Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB sejak tahun 1984 sampai sekarang. Beliau diangkat sebagai Guru Besar Pangan dan Gizi IPB pada tahun 2001. Dan sejak tahun 2007 menjabat sebagai Kepala Bagian Terapan Gizi IPB.


DAFTAR PUSTAKA

www.medicastore.com
Buku ILMU GIZI
Buku STATUS GIZI
Buku GIZI MASYARAKAT

KEKURANGAN KALORI PROTEIN

I. DEFINISI

Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang kurang mendapat masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan protein kurang dalam waktu yang cukup lama (Ngastiyah, 1997).

Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan gizi yang dikarenakan adanya defisiensi kalori dan protein dengan tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein maupun energi (Sediatoema, 1999).

II. KLASIFIKASI KKP

Berdasarkan berat dan tidaknya, KKP dibagi menjadi:

v KKP ringan/sedang disebut juga sebagai gizi kurang (undernutrition) ditandai oleh adanya hambatan pertumbuhan.

v KKP berat, meliputi:

Ø Kwashiorkor

Ø Marasmus

Ø Marasmik-kwashiorkor.

1. Kwashiorkor

a. Pengertian

w Adalah bentuk kekurangan kalori protein yang berat, yang amat sering terjadi pada anak kecil umur 1 dan 3 tahun (Jelliffe, 1994).

w Kwashiorkor adalah suatu sindroma klinik yang timbul sebagai suatu akibat adanya kekurangan protein yang parah dan pemasukan kalori yang kurang dari yang dibutuhkan (Behrman dan Vaughan, 1994).

w Kwashiorkor adalah penyakit gangguan metabolik dan perubahan sel yang menyebabkan perlemahan hati yang disebabkan karena kekurangan asupan kalori dan protein dalam waktu yang lama (Ngastiyah, 1997).

b. Etiologi

Penyebab utama dari kwashiorkor adalah makanan yang sangat sedikit mengandung protein (terutama protein hewani), kebiasaan memakan makanan berpati terus-menerus, kebiasaan makan sayuran yang mengandung karbohidrat.

Penyebab kwashiorkor yang lain yaitu:

w Adanya pemberian makanan yang buruk yang mungkin diberikan oleh ibu karena alasan: miskin, kurang pengetahuan, dan adanya pendapat yang salah tentang makanan.

w Adanya infeksi, misalnya:

- Diare akan mengganggu penyerapan makanan.

- Infeksi pernapasan (termasuk TBC dan batuk rejan) yang menambah kebutuhan tubuh akan protein dan dapat mempengaruhi nafsu makan.

w Kekurangan ASI.

c. Manifestasi Klinik

Tanda-tanda Klinik kwashiorkor berbeda pada masing-masing anak di berbagai negara, dan dibedakan menjadi 3, yaitu:

1) Selalu ada

Gejala ini selalu ada dan seluruhnya membutuhkan diagnosa pada anak umur 1-3 tahun karena kemungkinan telah mendapat makanan yang mengandung banyak karbohidrat.

a Kegagalan pertumbuhan.

a Oedema pada tungkai bawah dan kaki, tangan, punggung bawah, kadang-kadang muka.

a Otot-otot menyusut tetapi lemak di bawah kulit disimpan.

a Kesengsaraan

Sukar diukur, dengan gejala awal anak menjadi rewel diikuti dengan perhatian yang kurang.

2) Biasanya ada

Satu atau lebih dari tanda ini biasanya muncul, tetapi tidak satupun yang betul-betul memerlukan diagnosis.

a Perubahan rambut

Warnanya lebih muda (coklat, kemerah-merahan, mendekati putih), lurus, jarang halus, mudah lepas bila ditarik.

a Warna kulit lebih muda

a Tinja lebih encer

Akibat gangguan penyerapan makanan, terutama gula.

a Anemia yang tidak berat

Jika berat biasanya ada kemungkinan infeksi cacing atau malaria.

3) Kadang-kadang ada

Satu atau lebih dari gejala berikut kadang-kadang muncul, tetapi tidak ada satupun yang betul-betul membentuk diagnosis.

- Ruam/bercak-bercak berserpih.

- Ulkus dan retakan.

- Tanda-tanda vitamin

Misalnya luka di sudut mulut, lidah berwarna merah terang karena kekurangan riboflavin.

- Pembesaran hati

Akibat perlemahan hati.

(Menurut Jelliffe, 1994)

Tanda-tanda yang lain yaitu:

- Secara umum anak nampak sembab, letargik, cengeng, dan mudah terserang. Pada tahap lanjut anak menjadi apatik, sopor atau koma.

- Pertumbuhan yang terhambat, berat badan dan tinggi badan lebih rendah dibandingkan dengan berat badan baku. Jika ada edema anasarka maka penurunan berat badan tidak begitu mencolok.

- Edema

- Jaringan otot mengecil dengan tonusnya yang menurun, jaringan subkutan tipis dan lembek.

- Kelainan gastrointestinal yang mencolok adalah anoreksia dan diare.

- Rambut berwarna pirang, berstruktur kasar dan kaku, serta mudah dicabut.

- Kelainan kulit: kering, bersisik dengan garus-garis kulit yang dalam dan lebar, disertai denitamin B kompleks, defisiensi eritropoetin dan kerusakan hati.

- Anak mudah terjangkit infeksi akibat defisiensi imunologik (diare, bronkopneumonia, faringotonsilitis, tuberkulosis).

- Defisiensi vitamin dan mineral.

Defisiensi vitamin A, riboflavin (stomatitis angularis), anemia defisiensi besi dan anemia megaloblastik.

(Markum, AH, 1999)

d. Patofisiologi

Defisiensi protein

Gangguan metabolik

Asam amino esensial

Produksi insulin

Asam amino dalam serum

Hepar

Produksi albumin

Gangguan pembentukan beta-lipoprotein

Timbunan lemak

Edema

2. Marasmus

a. Pengertian

w Marasmus adalah penyakit yang timbul karena kekurangan energi (kalori) sedangkan kebutuhan protein relatif cukup (Ngastiyah, 1997).

w Marasmus merupakan gambaran KKP dengan defisiensi energi yang ekstrem (Sediaoetama, 1999).

b. Etiologi

Penyebab marasmus yang paling utama adalah karena kelaparan. Kelaparan biasanya terjadi pada kegagalan menyusui, kelaparan karena pengobatan, kegagalan memberikan makanan tambahan.

c. Manifestasi Klinik

Tanda-tanda marasmus dibedakan menjadi 2, yaitu:

1) Selalu ada

Tanda-tanda ini selalu ada dan seluruhnya membutuhkan diagnosa:

- Gangguan perkembangan

- Hilangnya lemak di otot dan di bawah kulit.

2) Kadang-kadang ada

- Mencret/diare atau konstipasi.

- Perubahan pada rambut, seperti pada kwashiorkor.

- Tanda-tanda dari defisiensi vitamin.

- Dehidrasi.

(Jelliffe, 1994)

Tanda dan Gejala yang lain yaitu:

a) Anak menjadi cengeng, sering bangun tengah malam.

b) Turgor kulit rendah dan kulitnya nampak keriput.

c) Pipi terlihat kempot.

d) Vena superfisialis tampak lebih jelas.

e) Ubun-ubun besar cekung.

f) Tulang dagu dan pipi kelihatan menonjol.

g) Mata tampak besar dan dalam.

h) Sianosis.

i) Ekstremitas dingin.

j) Perut buncit/cekung dengan gambaran usus jelas.

k) Atrofi otot.

l) Apatis.

m) Bayi kurus kering.

d. Patofisiologi

Defisiensi kalori

Energi

Pemenuhan kebutuhan kurang

Sintesis glukosa

Metabolit esensial

Cadangan protein

Asam amino

Homeostatik



3. Marasmik – Kwashiorkor

a. Pengertian

w Marasmik – kwashiorkor merupakan kelainan gizi yang menunjukkan gejala klinis campuran antara marasmus dan kwashiorkor. (Markum, 1996)

w Marasmik – kwashiorkor merupakan malnutrisi pada pasien yang telah mengalami kehilangan berat badan lebih dari 10%, penurunan cadangan lemak dan protein serta kemunduran fungsi fisiologi. (Graham L. Hill, 2000).

w Marasmik – kwashiorkor merupaan satu kondisi terjadinya defisiensi, baik kalori, maupun protein. Ciri-cirinya adalah dengan penyusutan jaringan yang hebat, hilangnya lemak subkutan dan dehidrasi. (http.www.yahoo.com. Search engine by keywords: malnutrisi pada anak)

b. Etiologi

Penyebab dari marasmik – kwashiorkor sama pada marasmus dan kwashiorkor.

c. Patofisiologi

Perubahan cairan tubuh, lemak, mineral dan protein

Pertumbuhan terhenti

Berat badan turun

Cairan tubuh meningkat

Sistem hemotopatik

Mukosa usus

Selasiner

Hati

Otak

Edema

Apatis

III. ETIOLOGI

Penyebab langsung dari KKP adalah defisiensi kalori protein dengan berbagai tekanan, sehingga terjadi spektrum gejala-gejala dengan berbagai nuansa dan melahirkan klasifikasi klinik (kwashiorkor, marasmus, marasmus kwashiorkor).

Penyebab tak langsung dari KKP sangat banyak sehingga penyakit ini disebut sebagai penyakit dengan causa multifactoral.

Berikut ini merupakan sistem holistik penyebab multifactoral menuju ke arah terjadinya KKP.

Ekonomi negara rendah

Pendidikan umum kurang

Produksi bahan pangan rendah

Hygiene rendah

Pekerjaan rendah

Pasca panen kurang baik

Sistem perdagangan dan distribusi tidak lancar

Daya beli rendah

Persediaan pangan kurang

Penyakit infeksi dan investasi cacing

Konsumsi kurang

Absorpsi terganggu

Utilisasi terganggu

K K P

Pengetahuan gizi kurang

Anak terlalu banyak

Kwashiorkor Marasmus

Marasmic – kwashiorkor

(Sediaoetoma, A. Djaeni, 1999)

IV. MANIFESTASI KLINIK

Tanda-tanda dari KKP dibagi menjadi 2 macam yaitu:

1. KKP Ringan

- Pertumbuhan linear terganggu.

- Peningkatan berat badan berkurang, terhenti, bahkan turun.

- Ukuran lingkar lengan atas menurun.

- Maturasi tulang terlambat.

- Ratio berat terhadap tinggi normal atau cenderung menurun.

- Anemia ringan atau pucat.

- Aktifitas berkurang.

- Kelainan kulit (kering, kusam).

- Rambut kemerahan.

1. KKP Berat

- Gangguan pertumbuhan.

- Mudah sakit.

- Kurang cerdas.

- Jika berkelanjutan menimbulkan kematian

(Pudjiadi, 1990)

V. EPIDEMIOLOGI

Penyakit KKP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak dibawah umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hasil penyelidikan di 254 desa di seluruh Indonesia, Tarwotjo, dkk (1999), memperkirakan bahwa 30 % atau 9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi kurang, sedangkan 3% atau 0,9 juta diantara anak-anak balita menderita gizi buruk. Berdasarkan “Rekapitulasi Data Dasar Desa Baru UPGK 1982/1983” menunjukkan bahwa prevalensi penderita KKP di Indonesia belum menurun. Hasil pengukuran secara antropometri pada anak-anak balita dari 642 desa menunjukkan angka-angka sebagai berikut: diantara 119.463 anak balita yang diukur, terdapat status gizi baik 57,1%, gizi kurang 35,9%, dan gizi buruk 5,9%.

Tingginya prevalensi penyakit KKP disebabkan pula oleh faktor tingginya angka kelahiran. Menurun Morley (1968) dalam studinya di Nigeria, insidensi kwashiorkor meninggi pada keluarga dengan 7 anak atau lebih. Studi lapangan yang dilakukan oleh Gopalan (1964) pada 1400 anak prasekolah menunjukkan bahwa 32% diantara anak-anak yang dilahirkan sebagai anak keempat dan berikutnya memperlihatkan tanda-tanda KKP yang jelas, sedangkan anak-anak yang dilahirkan terlebih dahulu hanya 17% memperlihatkan gejala KKP. Ia berkesimpulan bahwa 62% dari semua kasus kekurangan gizi pada anak prasekolah terdapat pada anak-anak keempat dan berikutnya.

Mortalitas KKP berat dimana-mana dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan pada tahun 1955/1956 (Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebanyak 55%, 35% diantara mereka meninggal dalam perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya.

Menurut WHO, 150 juga anak berumur di bawah 5 tahun menderita KKP dan 49% dari 10,4 juga anak berumur di bawah 5 tahun meninggal karena KKP yang kebanyakan terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.

VI. KOMPLIKASI

1. Defisiensi vitamin A (xerophtalmia)

Vitamin A berfungsi pada penglihatan (membantu regenerasi visual purple bila mata terkena cahaya).

Jika tidak segera teratasi ini akan berlanjut menjadi keratomalasia (menjadi buta).

2. Defisiensi Vitamin B1 (tiamin) disebut Atiaminosis.

Tiamin berfungsi sebagai ko-enzim dalam metabolisme karbohidrat. Defisiensi vitamin B1 menyebabkan penyakit beri-beri dan mengakibatkan kelainan saraf, mental dan jantung.

3. Defisiensi Vitamin B2 (Ariboflavinosis)

Vitamin B2/riboflavin berfungsi sebagai ko-enzim pernapasan. Kekurangan vitamin B2 menyebabkan stomatitis angularis (retak-retak pada sudut mulut, glositis, kelainan kulit dan mata.

4. Defisiensi vitamin B6 yang berperan dalam fungsi saraf.

5. Defisiensi Vitamin B12

Dianggap sebagai faktor anti anemia dalam faktor ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan anemia pernisiosa.

6. Defisit Asam Folat

Menyebabkan timbulnya anemia makrositik, megaloblastik, granulositopenia, trombositopenia.

7. Defisiensi Vitamin C

Menyebabkan skorbut (scurvy), mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C diperlukan untuk pembentukan jaringan kolagen oleh fibroblas karena merupakan bagian dalam pembentukan zat intersel, pada proses pematangan eritrosit, pembentukan tulang dan dentin.

8. Defisiensi Mineral seperti Kalsium, Fosfor, Magnesium, Besi, Yodium

Kekurangan yodium dapat menyebabkan gondok (goiter) yang dapat merugikan tumbuh kembang anak.

9. Tuberkulosis paru dan bronkopneumonia.

10. Noma sebagai komplikasi pada KEP berat

Noma atau stomatitis merupakan pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga dapat menembus pipi, bibir dan dagu. Noma terjadi bila daya tahan tubuh sedang menurun. Bau busuk yang khas merupakan tanda khas pada gejala ini.

VII. PENATALAKSANAAN

Prinsip pengobatan MEP adalah:

1) Memberikan makanan yang mengandung banyak protein bernilai biologik tinggi, tinggi kalori, cukup cairan, vitamin dan mineral.

2) Makanan harus dihidangkan dalam bentuk yang mudah dicerna dan diserap.

3) Makanan diberikan secara bertahap, karena toleransi terhadap makanan sangat rendah. Protein yang diperlukan 3-4 gr/kg/hari, dan kalori 160-175 kalori.

4) Antibiotik diberikan jika anak terdapat penyakit penyerta.

5) Tindak lanjut berupa pemantauan kesehatan penderita dan penyuluhan gizi terhadap keluarga.

Dalam keadaan dehidrasi dan asidosis pedoman pemberian cairan parenteral adalah sebagai berikut:

1) Jumlah cairan adalah 200 ml/kgBB/hari untuk kwashiorkor atau marasmus kwashiorkor, dan 250 ml/kg BB/hari untuk marasmus.

2) Jenis cairan yang dipilah adalah Darrow-glukosa aa dengan kadar glukosa dinaikkan menjadi 10% bila terdapat hipoglikemia.

3) Cara pemberiannya adalah sebanyak 60 ml/kg BB diberikan dalam 4-8 jam pertama, kemudian sisanya diberikan dalam waktu 16-20 jam berikutnya.

Makanan tinggi energi tinggi protein (TETP) diolah dengan kandungan protein yang dianjurkan adalah 3,0-5,0 gr/kg BB dan jumlah kalori 150-200 kkal/kg BB sehari.

Asam folat diberikan per oral dengan variasi dosis antara 3×5 mg/hari pada anak kecil dan 3×15 mg/hari pada anak besar. Kebutuhan kalium dipenuhi dengan pemberian KCL oral sebanyak 75-150mg/kg BB/hari (ekuivalen dengan 1-2 mEq/kg BB/hari); bila terdapat tanda hipokalemia diberikan KCl secara intravena dengan dosis intramuskular atau intravena dalam bentuk larutan MG-sulfat 50% sebanyak 0,4-0,5 mEq/kgBB/hari selama 4-5 hari pertama perawatan.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN (KKP)

I. PENGKAJIAN

1. Pemeriksaan Fisik

1) Kaji tanda-tanda vital.

2) Kaji perubahan status mental anak, apakah anak nampak cengeng atau apatis.

3) Pengamatan timbulnya gangguan gastrointestinal, untuk menentukan kerusakan fungsi hati, pankreas dan usus.

4) Menilai secara berkelanjutan adanya perubahan warna rambut dan keelastisan kulit dan membran mukosa.

5) Pengamatan pada output urine.

6) Penilaian keperawatan secara berkelanjutan pada proses perkembangan anak.

7) Kaji perubahan pola eliminasi.

Gejala : diare, perubahan frekuensi BAB.

Tanda : lemas, konsistensi BAB cair.

8) Kaji secara berkelanjutan asupan makanan tiap hari.

Gejala : mual, muntah.

Tanda : penurunan berat badan.

9) Pengkajian pergerakan anggota gerak/aktivitas anak dengan mengamati tingkah laku anak melalui rangsang.

2. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan Laboratorium

- Pemeriksaan darah tepi memperlihatkan anemia ringan sampai sedang, umumnya berupa anemia hipokronik atau normokromik.

- Pada uji faal hati tampak nilai albumin sedikit atau amat rendah, trigliserida normal, dan kolesterol normal atau merendah.

- Kadar elektrolit K rendah, kadar Na, Zn dan Cu bisa normal atau menurun.

- Kadar gula darah umumnya rendah.

- Asam lemak bebas normal atau meninggi.

- Nilai beta lipoprotein tidak menentu, dapat merendah atau meninggi.

- Kadar hormon insulin menurun, tetapi hormon pertumbuhan dapat normal, merendah maupun meninggi.

- Analisis asam amino dalam urine menunjukkan kadar 3-metil histidin meningkat dan indeks hidroksiprolin menurun.

- Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan yang ringan, jarang dijumpai dengan kasus perlemakan berat.

- Kadar imunoglobulin serum normal, bahkan dapat meningkat.

- Kadar imunoglobulin A sekretori rendah.

- Penurunan kadar berbagai enzim dalam serum seperti amilase, esterase, kolin esterase, transaminase dan fosfatase alkali. Aktifitas enzim pankreas dan xantin oksidase berkurang.

- Defisiensi asam folat, protein, besi.

- Nilai enzim urea siklase dalam hati merendah, tetapi kadar enzim pembentuk asam amino meningkat.

2) Pemeriksaan Radiologik

Pada pemeriksaan radiologik tulang memperlihatkan osteoporosis ringan.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan inadekuatnya intake makanan.

Intervensi:

- Kaji status nutrisi secara kontinu, selama perawatan setiap hari.

Rasional: Memberikan kesempatan untuk mengobservasi penyimpangan dari normal.

- Berikan makanan sedikit-sedikit dan makanan kecil tambahan yang tepat.

Rasional: Meningkatkan nafsu makan dan memampukan pasien untuk mempunyai pilihan terhadap makanan yang dapat dinikmati.

- Timbang berat badan anak tiap hari.

Rasional: Pengawasan kehilangan nutrisi dan alat pengkajian kebutuhan nutrisi.

- Dokumentasikan masukan oral selama 24 jam, riwayat makanan, jumlah kalori dengan tepat.

Rasional: Mengidentifikasi ketidakseimbangan antara perkiraan kebutuhan nutrisi dan masukan.

- Berikan terapi nutrisi dalam program pengobatan rumah sakit sesuai indikasi.

Rasional: Perawatan di rumah sakit memberikan kontrol lingkungan dimana masukan makanan dapat dipantau.

2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan inadekuatnya asupan cairan.

Intervensi:

- Catat karakteristik muntah

- Awasi tanda vital, status membran mukosa, turgor kulit.

Rasional: Sebagai indikator inadekuatan volume sirkulasi.

- Awasi masukan dan haluaran dan hubungkan dengan perubahan berat badan.

Rasional: Memberikan pedoman dalam pemberian cairan.

- Awasi jumlah dan tipe masukan cairan, ukur haluaran urine dengan akurat.

Rasional: Mengganti cairan untuk masukan kalori yang berdampak pada keseimbangan elektrolit.

- Identifikasi rencana untuk meningkatkan atau mempertahankan keseimbangan cairan optimal, misalnya: jadwal masukan cairan.

Rasional: Untuk memperbaiki ketidakseimbangan cairan.

- Beriakan cairan parenteral sesuai indikasi.

Rasional: Untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolik.

Intervensi:

- Obervasi adanya kemerahan, pucat, ekskoriasi.

- Gunakan krim kulit 2 kali sehari setelah mandi, pijat kulit, khususnya di daerah di atas penonjolan tulang.

Rasional: Melicinkan kulit dan menurunkan gatal. Pemijatan sirkulasi pada kulit, dapat meningkatkan tonus kulit.

- Pentingnya perubahan posisi sering, perlu untuk mempertahankan aktivitas.

Rasional: Meningkatkan sirkulasi dan perfusi kulit dengan mencegah tekanan lama pada jaringan.

- Tekankan pentingnya masukan nutrisi/cairan adekuat.

Rasional: Perbaikan nutrisi dan hidrasi akan memperbaiki kondisi kulit.

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan malnutrisi.

Intervensi:

- Pantau vital sign, perhatikan peningkatan suhu, takikardia dengan atau tanpa demam.

Rasional: Peningkatan suhu tubuh, menandakan adanya proses inflamasi atau infeksi, oleh karena itu, membutuhkan evaluasi atau pengobatan lebih lanjut.

- Amati adanya eritema atau cairan luka.

Rasional: Indikator infeksi lokal.

- Berikan antiseptik, antibiotik sistemik.

Rasional: Menurunkan proses infeksi lokal.

III. EVALUASI

1. Masukan kalori, protein adekuat ditandai dengan peningkatan berat badan dan nafsu makan meningkat.

2. Haluaran urine adekuat.

3. Membran mukosa lembab, turgor kulit baik, tidak menunjukkan adanya edema.

4. Kulit halus, elastisitas baik, rasa gatal hilang.

5. Suhu tubuh turun.

6. Pertumbuhan tidak terhambat, tidak ada perubahan pigmen pada rambut atau kulit.

7. Anak ceria, tidak apatis dan tidak cengeng.




DAFTAR PUSTAKA

Catzel, Pincus. 1990. Kapita Selekta Pediatri, Edisi II. Jakarta: EGC.

Hill, Graham L. 2000. Buku Ajar Nutrisi Bedah. Jakarta: Farmamedia.

Jelliffe, DB. 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis, Edisi IV. Jakarta: Bumi Aksara.

Markum. 1996. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I. Jakarta: FKUI.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Pudjiadi, Solihin. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak, Edisi IV. Jakarta: FKUI.

Sacharin, Rosa M. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2. Jakarta: EGC.

Sandra R. 1990. Nursing Care of Children and Families, 2nd Edition. California: A Division of the Benjamin Cummings Publishing Company.

Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Hipokrates.

Wong’s and Whaley. 1995. Nursing Care of Infant and Children 5th Edition. Missouri: Westline Industrial Drive.

http.www.yahoo.com. Search engine by keywords: malnutrisi pada anak. Accesed at April 7th 2005, 8.00 pm.

Lampiran: Sandra R. 1990. Nursing Care of Children and Families, 2nd Edition. California: A Division of the Benjamin Cummings Publishing Company.

KWASHIORKOR

Pathophisiology and Clinical Manifestation

Pathophysiology of kwashiorkor result in part from deficiency, both in quantity and quality. Since proteins essential for tissue growth and cell repair, all body systems are affected, but rapidly growing cells, such as those of the epitelium and mucous, are most severaly damaged. The skin is scaly and dry and has areas of depigmentasion. Several dermatotes may be devident: partly resulting from the vitamin deficiencies. Permanent blindness results from the severe lack of vitamin A. Immunity is severely affected and is of considerable importance in the development of infections.

Mineral deficiencies are common, especially iron, calcium, and zinc. Acute zinc deficiency is a common complication of severe PEM and results in skin rashes, loss of hair, impaired immune response and susceptibility to infections, digestive problems, night blindness, changes in affective behavior, defective wound healing, and impaired growth. It’s depressant effect on appetite further limits food intake.

With kwashiorkor the hair is thin, dry, coarse, and dull. Depigmentation is common, and patchy alopecia may occur. There is loss of weight in conjunction with generalized edema from the hypoalbuminemia. The edema often masks the severe muscular atrophy, making the children appear less debilitated than they actualli are. Total body water increases, but total body potassium decreases with retention of sodium, causing signs of hypokalemi and hypernatremia.

Diarrhea frequently occurs from a lowered resistance to infection and further complicates the electrolite imbalance gastrointestinal disturbances occur, such as fatty infiltration of the liver and atrophy of the acini cells of the pancreas. Behavioral changes are evident as the child grows progressived more irritable, lethargic, withdrawn, and apathetic.

Fatal deterioration may be caused by diarrhea and infection or as the results of circulatory faillure.

Nursing Management Kwashiorkor

Once the cause of the undernutrition is identified, interventions can be coordinate to provide an adequate and usable dictary intake. The addition of nutries is gradual and fluid, electrolyte and acid has balance is monitored cluscy. The nurse plays a vital role in teaching and supporting the child and family during this transtition to different dietary patterns.

The nurse also provides good skin care, protect the child from infections by using good technique and provides the child with developmentally stimulating activities.

Therapeutic Management

Treatment of kwashiorkor and marasmus include providing a diet high in quality protein and or carbohydrate as well as vitamin and mineral. Electrolyte imbalance requireds immediate attention, and parenteral fluid replacement may be necessary initially to correct the dehydration and restore renal function. An oral rehidration solution (ORS), recommended by the WHO, may be used to correct dehydration (Shils, Olson and Shike, 1994). Occasionally, oral fluid are not tolerated, necessitating the use of hyperalimentation. Coexisting problems such as infection, diarrhea, parasitic infestation and anemia necessirate prompt attention for optimum recovery one recommendation is the addition of psychosocial stimulation to the treatment of severely malnourished children. Along term structured play program involving parents has been shown to result in marked developmental improvement. However, these children continoued to be behind in nutritional status and locomotor development.

Nursing Considerations

Provision of essential physiologic need such as rest, individually tallored activity, and protection from infection is paramount since children are usually weak and withdrawn, they depend on others for feeding. Hygiene may be distressing because of the poor integrity of skin and decubity are a constant threat. Appropriates developmental stimulation should also be provides. A larger problem is prevention of these conditions through education concerning the importance of high quality protein and adequate carbohydrates. Since children with marasmus may suffer from emotional starvation as well, care should be consistent with care of the child with failure to thrive.

Pathophysiology and Clinical Manifestation

Marasmus is characterized by gradual wasting and atrophy of body tissue, especially subcutaneous fat. Children with the condition appear to be very old. Their skin is flabby and wrinkled. Unlike children with kwashiorkor, who appear more rounded from the edema. Fat metabolism is less impaired than in kwashiorkor, so that vitamin A deficiency is usually minimal or absent.

In general, the clinical manifestations of marasmus are similar to ghose seen in kwashiorkor with the following exceptions, with marasmus there is no edema from hypoalbumenia or sodium retention which contributes to a severely emaciated appearance, no dermatoses caused by vitamin deficiencies, little or no depigmentation of hair or skin, moderately normal fat metabolism and lipid absorption and smaller head size and slower recovery following treatmen.

As in kwashiorkor, body metabolism is minimal and maintaning body terperature is complicated by lack or subcuteneous fat. The child is fretful, apathetic, withdrawn, and so lethargic that prostration frequently occurs intercurrent infection with debilitating diseasse such as tuberculosis, parasitosis, and dysentery is common. Severe, chronic malnutrition in infacy result in arreased brain growth and has implications for the child’s future mental capacity.

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

KWASHIORKOR

Patofisiologi dan Manifestasi Klinik

Patofisiologi dari kwasiorkor adalah hasil dari defisiensi protein baik kualitas maupun kuantitas. Sejak esensial protein untuk pertumbuhan jaringan dan perbaikan sel, semua sistem tubuh dipengaruhi tetapi dengan cepat sel tumbuh, seperti epitelium dan mukosa, kebanyakan beberapa dirugikan.

Kulitnya bersisik dan kering dan ada area yang berpigmentasi. Beberapa lapisan kulit tidak normal, sebagian terjadi karena kekurangan vitamin. Bercak yang menetap berasal dari kekurangan vitamin A. kekebalan dipengaruhi dan berperan penting dalam pertumbuhan infeksi.

Kekurangan mineral juga umum khususnya besi, kalsium dan zinc. Defisiensi zinc akut biasanya berkomplikasi pada PEM dan hasilnya kulit kemerahan, rambut rontok, kerusakan respon imun dan mudah terpengaruh infeksi, masalah pencemaran, bercak hitam, mengubah kebiasaan yang mempengaruhi, sulit sembuh, dan memperlemah pertumbuhan, menekan nafsu makan yang selanjutnya intake makanan berkurang.

Dengan kwashiorkor rambut menjadi kurus, kering, kasar dan rapuh. Biasanya berpigmentasi terjadi bintik-bintik kebotakan. Kehilangan berat badan bersama dengan edema umum karena hipoalbuminemia. Edema biasa menutupi bagian dari atrofi muskular, membuat anak-anak tidak kelihatan lemah kemudian sesungguhnya mereka ada peningkatan cairan tubuh total, tetapi total potasium tubuh menurun menyebabkan tanda-tanda hipokalemi dan hipernatremi.

Frekuensi diare yang terjadi dari resistensi yang lebih rendah terhadap infeksi dan selanjutnya berkomplikasi pada ketidakseimbangan elektrolit. Terjadi gangguan gastrointestinal seperti infiltrasi lemak oleh hati dan atrofi sel asini pada sel pankreas. Mengubah kebiasaan, terbukti anak dapat tumbuh progresif, mudah tersinggung/rewel, lemah/suka tidur (letargik), menarik diri dan apatis dan keadaan memburuk yang mungkin disebabkan oleh diare dan infeksi atau hasil dari kegagalan sirkulasi.

Nursing Management Kwashiorkor

Salah satu cara untuk mengatasi kekurangan nutrisi adalah identifikasi, intervensi, untuk dapat memantau tindakan yang tidak adekuat dan berguna untuk memantau intake penambahan sedikit nutrisi dan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa dapat termonitor. Perawat berperan penting dalam pendidikan dan motivasi anak dan keluarga. Perawat juga melakukan tindakan perawatan kulit yang baik, melindungi anak dari infeksi dengan menggunakan teknik yang baik dan memberi anak aktivitas stimulasi pertumbuhan.

Management Therapeutik

Tindakan pada kwashiorkor dan marasmus diberikan diet yang mengandung kualitas tinggi protein dan atau karbohidrat sebaik vitamin dan mineral. Ketidakseimbangan elektrolit membutuhkan perhatian sesegera mungkin dan pergantian cairan parenteral segera dibutuhkan untuk mengatasi dehidrasi dan mengembalikan fungsi ginjal. Pemberian rehidrasi oral dianjurkan oleh WHO, mungkin digunakan untuk mengatasi dehidrasi. (Shill, Olson dan Shike, 1994). Terkadang, cairan per oral tidak dapat ditoleransi, dan memaksa menggunakan hiperalimentasi, permasalahan besar seperti infeksi, diare, parasitis dan anemia, memaksa segera menunda untuk kesembuhan optimum.

Satu anjuran ditambahkan stimulasi psikososial pada tindakan untuk beberapa anak malnutrisi. Susunan program bermain pada waktu yang lama melibatkan orang tua untuk menunjukkan hasil dengan ditandai perbaikan perkembangan. Apabila diteruskan, untuk status nutrisi juga membangun lokomotor.

Perencanaan

Persiapan psikologis esensial dibutuhkan seperti istirahat. Penurunan kesibukan aktivitas individu dan perlindungan dari infeksi tinggi. Saat itu anak biasanya lemah dan menarik diri, mereka tergantung pada orang lain untuk makan. Kesulitan kebersihan disebabkan integritas kulit rendah dan dekubitus selalu terjadi. Pemberian stimulasi perkembangan juga harus diberikan.

Masalah yang lebih besar adalah kondisi pencegahan termasuk pentingnya pendidikan konseling tentang protein kualitas tinggi dan karbohidrat yang adekuat.

Anak marasmus mungkin menderita dari dari emosional rendah, perawatan harus konsisten dengan merawat anak dengan gagal berkembang.

Patofisiologi dan Manifestasi Klinis

Marasmus memiliki karakteristik merusak bertahap dan atrofi jaringan tubuh, khususnya lemak subkutan. Anak kondisinya kelihatan seperti tua. Kulit mereka lunak dan berkerut, tidak seperti anak pada kwashiorkor yang kelihatan dipenuhi dengan edema. Metabolisme lemak sangat lemah daripada kwashiorkor, juga defisiensi vitamin A biasanya minimal atau tidak ada.

Pada umumnya, manifestasi klinis dari marasmus hampir sama dengan yang terlihat pada kwashiorkor, kecuali dengan marasmus tidak terjadi edema dari hipoalbuminemia atau retensi sodium yang berkontribusi kelihatan kurus, tidak ada dermatitis karena defisiensi vitamin; sedikit atau tidak ada depigmentasi dari rambut dan kulit, metabolisme lemak normal dan absorbsi protein, dan ukuran kepala lebih kecil dan perbaikan yang lambat.

Seperti juga pada kwashiorkor, metabolisme tubuh minimal dan kesulitan pada pengaturan suhu tubuh oleh kekurangan lemak subkutan. Anak rewel, apatis, menarik diri dan sangat letargik terjadi frekuensi tak berdaya karena injeksi dengan melemahkan penyakitnya seperti tuberkulosis, parasitosis, dan disentri. Biasanya, malnutrisi kronis hasilnya penurunan pertumbuhan otak dan memiliki implikasi pada kapasitas mental masa depan anak.