Selasa, 25 Mei 2010

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Reaksi Hipersensitivitas

  • Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
  • Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.
  • Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

  
REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I
  • Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
  • Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
  • Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
  • Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).
  • Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
  • Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat  Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
  • Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat  Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.
  • Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.
  • Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.
  • Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I)  Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator).  Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).  

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.
‘Slow reacting substance of anaphylaxis’
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)
Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh IgE.
Serotonin
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI
Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.
Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.
Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan  dapat  langsung  dari  sel  mast  atau  dari  sel  lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0  
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6).  Sitokin  lain  yang  mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.
Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).
PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI
(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)
  • Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III)
  • Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated) merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.
Sindrom klinik dan pengobatan
Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi  kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam darah.
Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan
Penyakit Antigen target Mekanisme Manifestasi klinopatologi
Anemia hemolitik autoimun  Protein membran eritrosit (antigen golongan darah Rh) Opsonisasi dan fagositosis eritrosit Hemolisis, anemia
Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik)  Protein membran platelet (gpIIb:integrin IIIa) Opsonisasi dan fagositosis platelet Perdarahan
Pemfigus vulgaris Protein pada hubungan interseluler pada sel epidermal (epidemal cadherin)  Aktivasi protease diperantarai antibodi, gangguan adhesi interseluler Vesikel kulit (bula)
Sindrom Goodpasture Protein non-kolagen pada membran dasar glomerulus ginjal dan alveolus paru  Inflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor Fc Nefritis, perdarahan paru
Demam reumatik akut Antigen dinding sel streptokokus, antibodi bereaksi silang dengan antigen miokardium  Inflamasi, aktivasi makrofag Artritis, miokarditis
Miastenia gravis Reseptor asetilkolin Antibodi menghambat ikatan asetilkolin, modulasi reseptor  Kelemahan otot, paralisis
Penyakit Graves Reseptor hormon TSH Stimulasi reseptor TSH diperantarai antibodi  Hipertiroidisme
Anemia pernisiosa Faktor intrinsik dari sel parietal gaster Netralisasi faktor intrinsik, penurunan absorpsi vitamin B12 Eritropoesis abnormal, anemia
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Penyakit oleh kompleks imun
Penyakit Spesifitas antibodi Mekanisme Manifestasi klinopatologi
Lupus eritematosus sistemik DNA, nukleoprotein Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc  Nefritis, vaskulitis, artritis
Poliarteritis nodosa Antigen permukaan virus hepatitis B Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc  Vaskulitis
Glomreulonefirtis post-streptokokus Antigen dinding sel streptokokus Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc Nefritis
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)
Point of interest
  • Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).  
  • Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi,  aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut. 
  • Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk kompleks  imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi. 
  
PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)
Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.
  • Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat  sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.
  • Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs
  • Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+  dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T,  terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Sindrom klinik dan pengobatan
Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang diperantarai oleh sel T .
Penyakit yang diperantarai sel T
Penyakit Spesifitas sel T patogenik Penyakit pada manusia Contoh pada hewan
Diabetes melitus tergantung insulin (tipe I) Antigen sel islet (insulin, dekarboksilase asam glutamat)  Spesifisitas sel T belum ditegakkan  Tikus NOD, tikus BB, tikus transgenik
Artritis reumatoid Antigen yang tidak diketahui di sinovium sendi  Spesifisitas sel T dan peran antibodi belum ditegakkan  Artritis diinduksi kolagen
Ensefalomielitis alergi eksperimental Protein mielin dasar, protein proteolipid  Postulat : sklerosis multipel Induksi oleh imunisasi dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik
Penyakit inflamasi usus Tidak diketahui, peran mikroba intestinal Spesifisitas sel T belum ditegakkan Induksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)
DAFTAR PUSTAKA
  1. Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders, 1989.
  2. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Disease caused by humoral and cell-mediated immune reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia: WB Saunders, 1991; 353-76.
  3. Bellanti JA. Mechanism of tissue injury produced by immunologic reactions. Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology III. Philadelphia: WB Saunders, 1985; 218-60.
  4. Roitt IM. Essential immunology; edisi ke-6. Oxford: Blackwell Scioentific, 1988; 233-67.
  5. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004.
  6. http://childrenallergyclinic.wordpress.com

Senin, 24 Mei 2010

INFLAMASI / RADANG

Definisi
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 1973).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Rukmono, 1973).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).
Tanda-tanda radang (makroskopis)
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau. Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran, 2003).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37oC disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995).
Mekanisme radang
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran, 2003).
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian, mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar, 1995).
Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995).
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins & Kumar, 1995).
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins & Kumar, 1995).
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti (Robbins & Kumar, 1995).
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel (Robbins & Kumar, 1995).
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins & Kumar, 1995).
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit (Robbins & Kumar, 1995).
2. Radang kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell & Cotran, 2003).
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Mediator kimia peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa cedera langsung merusak endotelium pembuluh darah yang menimbulkan kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis jaringan maupun agen penyebab pada hakekatnya menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh. Beberapa mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator dari respon peradangan. Identifikasinya saat ini sulit dilakukan. Walaupun daftar mediator yang diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator yang lebih dikenal dapat digolongkan menjadi golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease plasma (sistem kinin, komplemen, dan koagulasi fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal, radikal bebas yang berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
1. Amina vasoaktif
Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar histamin disimpan dalam granula sel jaringan penyambung yang disebut sel mast. Histamin tersebar luas dalam tubuh. Histamin juga terdapat dalam sel basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan histamin yang tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus yang dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma atau panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap reseptor Fc pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a (disebut anafilaktosin), protein derivat leukosit yang melepaskan histamin, neuropeptida (misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).
Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula, dan pelebaran pertemuan antar-sel endotel. Histamin bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-reseptor histamin jenis H-1 yang ada pada endotel pembuluh darah. Pada perannya dalam fenomena vaskular, histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk eosinofil. Segera setelah dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi inaktif oleh histaminase. Antihistamin merupakan obat yang dibuat untuk menghambat efek mediator dari histamin. Perlu diketahui bahwa obat antihistamin hanya dapat menghambat tahap dini peningkatan permeabilitas vaskular dan histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang dipertahankan pada peningkatan permeabilitas (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator vaasoaktif. Serotonin ditemukan terutama di dalam trombosit yang padat granula (bersama dengan histamin, adenosin difosfat, dan kalsium). Serotonin dilepaskan selama agregasi trombosit. Serotonin pada binatang pengerat memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi perannya sebagai mediator pada manusia tidak terbukti (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
2. Protease plasma
Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga faktor plasma yang saling berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh aktivasi awal oleh faktor Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik). Faktor XII adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk inaktif hingga bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit teraktivasi di lokasi jejas endotelium. Dengan bantuan kofaktor high-molecular-weight kininogen (HMWK)/kininogen berat molekul tinggi, faktor XII kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat membongkar pusat serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein (Mitchell & Cotran, 2003).
Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan bradikinin. Bradikinin merupakan polipeptida yang berasal dari plasma sebagai prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein ini diuraikan oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari prekursornya yaitu prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin, bradikinin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula dan kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin tidak menyebabkan kemotaksis untuk leukosit, tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke dalam kulit. Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel dengan meningkatkan celah antar sel. Kinin akan dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang terdapat dalam plasma dan jaringan, dan perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
Pada sistem pembekuan, rangsangan sistem proteolitik mengakibatkan aktivasi trombin yang kemudian memecah fibrinogen yang dapat larut dalam sirkulasi menjadi gumpalan fibrin. Faktor Xa menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan emigrasi leukosit. Trombin memperkuat perlekatan leukosit pada endotel dan dengan cara menghasilkan fibrinopeptida (selama pembelahan fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas vaskular dan sebagai kemotaksis leukosit (Mitchell & Cotran, 2003).
Ketika faktor XIIa menginduksi pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi sistem fibrinolitik. Mekanisme ini terjadi sebagai umpan balik pembekuan dengan cara memecah fibrin kemudian melarutkan gumpalan fibrin. Tanpa adanya fibrinolisis ini, akan terus menerus terjadi sistem pembekuan dan mengakibatkan penggumpalan pada keseluruhan vaskular. Plasminogen activator (dilepaskan oleh endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein adalah protein plasma yang terikat dalam perkembangan gumpalan fibrin. Produk hasil dari keduanya yaitu plasmin, merupakan protease multifungsi yang memecah fibrin (Mitchell & Cotran, 2003).
Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan penting dalam imunitas maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi biologi komplemen ialah aktivasi komponen ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat terjadi oleh apa yang disebut ”jalur klasik” yang tercetus oleh pengikatan C1 pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks, atau IgA teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum (termasuk properdin dan faktor B dan D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya sistem komplemen akan memakai urutan efektor akhir bersama yang menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa faktor yang secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai fenomena radang akut, yaitu pada fenomena vaskular, kemotaksis, dan fagositosis. C3a dan C5a (disebut juga anafilaktosin) meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan vasodilatasi dengan cara menginduksi sel mast untuk mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat dalam netrofil dan monosit. C5a juga menyebabkan adhesi neutrofil pada endotel dan kemotaksis untuk monosit, eosinofil, basofil dan neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b, apabila melekat pada dinding sel bakteri akan bekerja sebagai opsonin dan memudahkan fagositosis neutrofil dan makrofag yang mengandung reseptor C3b pada permukaannya (Mitchell & Cotran, 2003).
a. Metabolit asam arakidonat
Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon polyunsaturated fatty acid) yang utamanya berasal dari asupan asam linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi sebagai komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat dilepaskan dari fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik, kimia, atau fisik, atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti C5a. Metabolisme asam arakidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur siklooksigenase dan lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga eikosanoid) dapat memperantarai setiap langkah inflamasi. (Mitchell & Cotran, 2003).
Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2), PGD2, PGF2?, PGI2 (prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap produk tersebut berasal dari PGH2 oleh pengaruh kerja enzim yang spesifik. PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil akhir biologi aktif jalur siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan tertentu. Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase sehingga produk utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi trombosit yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki prostasiklin sintetase yang membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator dan penghambat kuat agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit utama dari jalur siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2 dan PGF2?, PGD2 menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan edema. Prostaglandin terlibat dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi (Mitchell & Cotran, 2003).
Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk bahan-bahan proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil. Produk dari aksinya memiliki karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam 5-hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam arakidonat yang tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (asam 5-hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4 merupakan agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC4, LTD4, dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular (Mitchell & Cotran, 2003).
Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit dari intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai aksi baik pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan antagonis vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya menghambat kemotaksis neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi perlekatan monosit (Mitchell & Cotran, 2003).
b. Produk leukosit
Granula lisosom yang terdapat dalam neutrofil dan monosit mengandung molekul mediator inflamasi. Mediator ini dilepaskan setelah kematian sel oleh karena peluruhan selama pembentukan vakuola fagosit atau oleh fagositosis yang terhalang karena ukurannya besar dan permukaan yang tidak dapat dicerna. Kalikrein yang dilepaskan dari lisosom menyebabkan pembentukan bradikinin. Neutrofil juga merupakan sumber fosfolipase yang diperlukan untuk sintesis asam arakidonat (Robbins & Kumar, 1995).
Di dalam lisosom monosit dan makrofag juga banyak mengandung bahan yang aktif untuk proses radang. Pelepasannya penting pada radang akut dan radang kronik. Limfosit yang telah peka terhadap antigen melepaskan limfokin. Limfokin merupakan faktor yang menyebabkan penimbunan dan pengaktifan makrofag pada lokasi radang. Limfokin penting pada radang kronik (Robbins & Kumar).
c. Mediator lainnya
Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk dalam sel fagosit saat fagositosis dapat luruh memasuki lingkungan ekstrasel. Diduga bahwa radikal-radikal bebas yang sangat toksik meningkatkan permeabilitas vaskular dengan cara merusak endotel kapiler. Selain itu, ion-ion superoksida dan hidroksil juga dapat menyebabkan peroksidase asam arakidonat tanpa enzim. Akibatnya, akan dapat terbentuk lipid-lipid kemotaksis (Robbins & Kumar, 1995).
Aseter-PAF merupakan mediator lipid yang menggiatkan trombosit. Hal ini karena menyebabkan agregasi trombosit ketika dilepaskan oleh sel mast. Selain sel mast, neutrofil dan makrofag juga dapat mensintesis aseter-PAF. Aseter-PAF meningkatkan permeabilitas vaskular, adhesi leukosit dan merangsang neutrofil dan makrofag (Robbins & Kumar, 1995).
Daftar Pustaka
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 2000).
2. Rukmono (1973). Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK UI.
3. Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I., Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1996).
4. Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
5. Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L. Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders.
6. Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar laboratorium patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1987).
7. http://doctorology.net

Minggu, 23 Mei 2010

PENGOBATAN KANKER PAYUDARA

Pengobatan kanker payudara tergantung dari :
  • Ukuran dan letak tumor
  • Apakah kanker sudah menyebar
  • Kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan.
Dalam banyak kasus, dokter akan bekerjasama dengan pasien untuk menentukan rencana pengobatan Meskipun pengobatan tiap pasien akan di sesuaikan oleh dokter. Tapi berikut adalah langkah-langkah umum yang dilakukan dalam pengobatan kanker payudara :
  • Tujuan utama pengobatan kanker stadium awal adalah mengangkat tumor dan membersihkan jaringan disekitar tumor. Jadi dokter akan merekomendasikan operasi untuk mengangkat tumor. Umumnya kemudian akan dilakukan terapi radiasi pada jaringan payudara yang masih ada. Untuk keadaan tertentu ( misalnya, pasien dengan problem medis yang serius ) radiasi bisa jadi ditunda.
  • Tahapan berikut dalam menangani kanker stadium awal adalah mengurangi resiko kanker akan kambuh dan membuang sel kanker yang masih ada. Bila tumornya lebar atau saluran kelenjar getah bening telah terserang kanker juga, dokter akan merekomendasikan terapi tambahan, antara lain : Terapi Radiasi, Chemotherapy, dan / atau hormone terapi. Sedang untuk kanker yang kambuh lagi, diperlakukan dengan bermacam-macam cara. Ketika merencanakan pengobatan, dokter akan mempertimbangkan beberapa factor :
  • Stadium dan grade kanker
  • Satus tumor hormone receptor (ER, PR) dan status HER2/neu
  • Umur pasien dan kesehatannya secara umum
  • Pasien sudah menopause atau belum
  • Adanya mutasi dari gen kanker payudara Kondisi biologi kanker payudara memberi efek pada tingkah laku kankernya dan pengobatannya. Beberapa tumor ukurannya kecil tapi tumbuhnya cepat atau ukurannya besar tapi tumbuhnya lambat.
OPERASI
Secara umum, semakin kecil tumor, dianjurkan untuk operasi.Berikut adalah type-type operasi :
  • Lumpectomy ( Partial mastectomy / Segmental mastectomy ), mengangkat tumor dan membersihkan jaringan sekitar tumor. Untuk DCIS dan Kanker yang invasive, biasanya terapi radiasi pada area yang terkena tumor diberikan.
lumpectomy.jpg
A.Dark pink indicates tumor
B.Light pink highlited area indicates tissue ( jaringan ) removed at lumpectomy
  • Total mastectomy, mengangkat seluruh payudara, tetapi tidak termasuk kelenjar getah bening dibawah ketiak
radical-mastectomy.jpg
A. Pink highlighted area indicates tissue removed at mastectomy
B. Axillary limph nodes : level I
C. Axillary limph nodes : level II
D. Axillary limph nodes : level III
E. Supraclavicular lymp nodes
F. Internal mammary lymp nodes Total ( simple )
Gambar untuk tindakan Simple mastectomy :
radicalmastectomy.jpg
A. Pink highlighted area indicates tissue removed at mastectomy
B. Axillary limph nodes : level I
C. Axillary limph nodes : level II
D. Axillary limph nodes : level III
  • Modified radical mastectomy, mengangkat payudara dan kelenjar getah bening dibawah ketiak.
  • Axillary limph node, mengangkat titik-titik kelenjar getah bening ketiak, kemudian sel kankernya diteliti oleh ahli patology.
  • Sentinel lymp node biopsy, prosedur dimana ahli bedah akan mencari dan kemudian mengangkat kelenjar getah bening utama pad ketiak ( sentinel lymph node ) yang langsung berhubungan dengan payudara. Ahli patology kemudian akan meneliti sel-sel kankernya. Untuk mengidentifikasi sentinel lymp node ahli bedah akan menyuntikkan suatu cairan dan / atau radioactive tracer kedalam area sekitar puting payudara. Cairan atau tracer tadi akan mengalir ketitik-titik kelenjar getah bening, yang pertama akan sampai ke sentinel lymp node. Ahli bedah akan menemukan titik-titik pada KGB ( kelenjar Getah Bening ) yang warnanya berbeda ( apabila digunakan cairan ) atau pancaran radiasi ( bila menggunakan tracer ). Cara ini biasanya mempunyai resiko rendah akan terjadinya lymphedema ( pembengkakan pada lengan ) daripada axillary lymp node dissection. Bila ternyata hasilnya sentinel node bebas dari penyebaran kanker, maka tidak ada operasi lanjutan untuk KGB. Apabila sebaliknya, maka dilanjutkan operasi pengangkatan KGB.
Wanita yang sudah dilakukan mastectomy kemudian bisa mempertimbangkan untuk melakukan breast reconstruction yaitu ahli bedah akan membuatkan payudara baru. Rekonstruksi bisa dilakukan dengan mengambil jaringan dari bagian tubuh lain. Atau dengan implant sintetis. Hal ini bisa dilakukan langsung pada saat mastectomy bisa juga sesudahnya.
ADJUVANT THERAPY. Adalah pengobatan yang diberikan sebagai tambahan pengobatan setelah operasi. Tujuannya untuk mengurangi resiko kanker untuk kambuh. Tapi setiap pengobatan kanker tidak ada yang pasti akan melenyapkan kanker ( hanya Tuhan yang tahu, manusia berikhtiar saja ). Adjuvant theraphy antara lain : Terapi Radiasi, Chemotherapy, Hormon terapi dan Targeted Therapy. Dibawah ini adalah garis besar adjuvant therapy :
1. TERAPI RADIASI. Terapi ini menggunakan X-ray berenergy tinggi atau partikel lain untuk membunuh sel kanker. Terapi ini diberikan secara regular perminggu. Biasanya 5 hari selama seminggu. ( Senin – Jum’at ) selama 6-7 minggu. Tujuannya adalah : mematikan sel kanker yang mungkin masih ada / teetinggal disekitar area tumor yang sudah dioperasi, mengecilkan ukuran tumor sebelum kemudian dioperasi, agar memudahkan pada saat pengangkatan. Pengalaman saya, ketika metastasis kanker ketulang belakang, di radiasi sebanyak 10x untuk menghilangkan rasa sakit. Danuntuk mengecilkan tumor sebelum operasi di radiasi lagi sebanyak 38 kali. Proses radiasi tidak menyakitkan untuk prosesnya tidak lama. Tidak sampai 4 menit, tidak ada efek apapun. Hanya area yang di radiasi tidak boleh terkena air karena bisa melepuh. Ketika saya radiasi di ketiak, memang agak lecet. Karena biasanya ketiak berkeringat. Bisa diobati dengan perban luka, setelah agak kering lukanya bisa diolesi krem / salep untuk lecet karena radiasi.
2. CHEMOTHERAPY. Chemotherapy adalah menggunakan suatu obat yang fungsinya adalah untuk membunuh sel kanker. Systemic chemotherapy, obat chemo tersebut dialirkan lewat pembuluh darah, targetnya adalah seluruh sel kanker yang ada di tubuh. Efek samping obat chemotherapy sangat individual, tergantung dari masing-masing pasien juga dosisi yang diberikan biasanya dokter akan menghitung luas tubuh melalui berat badan pasien. Pada saat saya melakukan chemotherapy tahun lalu dan sekarang efek samping bisa dikatakan tidak ada / bisa diabaikan. Yang saya rasakan adalah rambut rontok, kalau leukosit mulai turun merasa sangat lelah. Lainnya tidak ada. ( untuk meminimalkan efek samping akan dibahas tersendiri ). Efek samping yang umumnya dirasakan pasien adalah :
  1. Rambut rontok
  2. Kemungkinan resiko infeksi ( basanya sariawan pada mulut, tenggorokan susah menelan karena infeksi jamur )
  3. Kuku dan kulit menghitam, kadang kulit kering
  4. Mual & muntah
  5. Ngilu tulang-tulang
  6. Hilang nafsu makan
  7. Diare atau malahan susah buang air besar
  8. Asam lambung naik
Gejala-gejala itu biasanya akan menghilang ketika pengobatan selesai. Chemotherapy bisa diberikan secara oral ( diminum ) dan intravenous ( diinfuskan ). Diberikan secara beseri ( untuk oral biasanya diminum selama 2 minggu, istirahat 1 minggu. Kalau diinfuskan 6 kali chemo, jaraknya 3 minggu untuk yang full dose ). Biasanya tidak perlu menginap di Rumah Sakit, apabila satu jam setelah chemo tidak mengalami efek apapun. Kalau agak mual-mual sedikit tidak apa-apa sampai dirumah biasanya akan hilang asal langsung istirahat / tidur.
Chemotherapy, bisa diberikan sebagai neoadjuvant therapy ( diberikan sebelum diadakan operasi, tujuannya adalah untuk mengecilkan tumor yang besar, mengeringkan luka kanker akibat kanker yang sudah pecah ), atau adjuvant therapy ( diberikan setelah operasi, untuk mengurangi kekambuhan ).
Dalam hal mana apabila kanker kambuh lagi ( cancer reccurence ). Pasien biasanya ditawari untuk menggunakan obat baru atau kombinasi dari obat yang sudah ada. Obat yang berbeda, berguna untuk kanker yang berbeda pula. Dan penelitian menunjukkan bahwa kombinasi dari obat-obat tertentu akan lebih efektif daripada obat individual. Obat – obat chemotherapy yang biasanya digunakan untuk kanker payudara adalah :
  • Cyclophosphamide ( cytoxan, Neosar )
  • Methotrexate ( banyak merk )
  • Fluorouracil ( 5-Fu, Adrucil )
  • Doxorubicin ( Adriamycin, Rubex )
  • Paclitaxel ( Taxol )
  • Docetaxel ( Taxotere )
  • Vinorelbine ( Navelbine )
  • Capecitabine ( Xeloda )
  • Protein bound paclitaxel ( Abraxane )
  • Gemcitabine ( Gemzar )
  • Ada juga obat yang baru di buat oleh Brysto Myers and Squib yaitu Ixempra ( tapi belum beredar di Indonesia, karena masih sangat baru )
  • Dll
Contoh kombinasi obat :
  • CMF ( cyclophosphamide, methotrexate, dan 5-FU )
  • FAC ( 5-Fu, Doxorubicin, cyclophosmide )
  • TAC ( docetaxel, doxorubicin, dan cyclophosphamide )
  • GT ( gemcitabine dan paclitaxel )
  • Dll
Beberapa obat ini bisa juga dikombinasikan dengan trastuzumab ( Herceptine ), suatu obat yang tergolong dalam targeted therapy. Dalam pengobatan kanker akan selalu dievaluasi oleh team dokter juga lebih baik apabila pasien aktif terlibat.
3. HORMON THERAPY. Terapi hormone berguna bagi pasien yang hasil biopsynya menunjukkan hasil positive untuk Estrogen receptor ( ER + ) dan Progesterone receptors ( PR + ) tipe kanker ini berarti pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormone-hormon tersebut sehingga diperlukan obat untuk memblock hormone untuk membatasi / mengerem pertumbuhan tumor. Pemakaiannya bisa sendiri atau bersamaan dengan obat chemotherapy. Contoh terapi hormone sebagai adjuvant therapy adalah tamoxifen, anastrozole ( arimidex ), letrozole ( femara ), dan exemestane ( aromasin ).
estrogen-receptors.jpg
A. Estrogen receptor
B. Estrogen
C. Estrogen helper protein
D. Cell nucleus
E. DNA ( genetic material ) inside the cell nucleus
tamoxifen-estrogen-receptor.jpg
Cell with estrogen receptors blocked by tamoxifen and helper protein :
A. Estrogen receptor
B. tamoxifen
C. Estrogen helper protein
D. Tamoxifen helper protein
E. Cell nucleus
F. DNA ( genetic material ) inside the cell nucleus
4. TARGETED THERAPY.Adalah termasuk obat baru yang bekerja untuk mengerem / menghentikan aksi dari protein abnormal ( HER2/neu ) yang menyebabkan sel kanker tumbuh dan membelah tak terkontrol.Monoclonal antibodies targete protein yang biasanya ada dalam jumlah yang besar didalam sel kanker.
  • Trastuzumab ( Herceptin ) dipakai sebagai obat untuk kanker payudara yang mengandung terlalu banyak protein HER2/neu.
  • Bevacizumab ( Avastin ) adalah antiangiogenic. ( masih dalam percobaan klinis ). Antiagiogenesis agent ini memblock angiogenesis ( formasi dari pembuluh darah baru ) yang dibutuhkan tumor untuk berkembang dan metastasis.

Selasa, 18 Mei 2010

CARCINOMA MAMAE ( KANKER PAYUDARA )

A.PENGERTIAN
                  Ca. Mamae merupakan penyakit keganasan yang paling banyak menyerang wanita., disebabkan karena terjadinya pembelahan sel-sel tubuh secara tidak teratur sehingga pertumbuhan sel tidak dapat dikendalikan dan akan tumbuh menjadi benjolan tumor (kanker).
B.ETIOLOGI
Sebab keganasan pada mamae masih belum jelas, tetapi ada beberapa faktor yang berkaitan erat dengan munculnya keganasan payudara yaitu: virus, faktor lingkungan , faktor hormonal dan familiar;
1.Wanita resiko tinggi dari pada pria (99:1)
2.Usia: resiko tertinggi pada usia diatas 30 tahun
3.Riwayat keluarga: ada riwayat keluarga Ca Mammae pada ibu/saudara perempuan
4.Riwayat meanstrual:
   -early menarche (sebelum 12 thun)
   -Late menopouse (setelah 50 th)
5.Riwayat kesehatan: Pernah mengalami / sedang menderita otipical hiperplasia atau benign proliverative yang lain pada biopsy payudara, Ca. endometrial.
6.Menikah tapi tidak melahirkan anak
7.Riwayat reproduksi: melahirkan anak  pertama diatas 35 tahun.
8.Tidak menyusui
9.Menggunakan obat kontrasepsi oral yang lama, penggunaan therapy estrogen
10.Mengalami trauma berulang kali pada payudara
11.Terapi radiasi; terpapar dari lingkungan yang terpapar karsinogen
12.Obesitas
13.Life style: diet tinggi lemak, mengkomsumsi alcohol (minum 2x sehari), merokok.
14.Stres hebat.
C.  PATOFISIOLOGI  PENYAKIT
Proses terjadinya kanker karena terjadi perubahan struktur sel, dengan ciri : proliferasi yang berlebihan dan tak berguna, yang tak mengikuti pengaruh jaringan sekitarnya. Proliferasi abnormal  sel kanker akan menggangu fungsi jaringan normal dengan menginfiltrasi dan memasukinya dengan cara menyebarkan anak sebar ke organ-organ yang jauh. Di dalam sel tersebut telah terjadi perubahan secara biokimiawi  terutama dalam intinya. Hampir semua tumor ganas tumbuh dari suatu sel yang mengalami transformasi maligna dan berubah menjadi sekelompok sel ganas diantara sel normal.
 D. TANDA DAN GEJALA
1.Terdapat massa utuh kenyal, biasa di kwadran atas bagian dalam, dibawah ketiak bentuknya tak beraturan dan terfiksasi
2.Nyeri di daerah massa
3.Perubahan bentuk dan besar payudara, Adanya lekukan ke dalam, tarikan dan refraksi pada areola mammae
4.Edema dengan “peant d’ orange (keriput seperti kulit jeruk)
5.Pengelupasan papilla mammae
6.Adanya kerusakan dan retraksi pada area puting,
7.Keluar cairan abnormal dari putting susu berupa nanah, darah, cairan encer padahal ibu tidak sedang hamil / menyusui.
8.Ditemukan lessi pada pemeriksaan mamografi

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan labortorium meliputi: Morfologi sel darah, LED, Test fal marker (CEA) dalam serum/plasma, Pemeriksaan sitologis
2.Test diagnostik lain:
a.Non invasive;
-Mamografi
-Ro thorak
-USG
-MRI
-PET
b.Invasif
-Biopsi, ada 2 macam tindakan menggunakan jarum dan 2 macam tindakan pembedahan
- Aspirasi biopsy (FNAB)
-Dengn aspirasi jarum halus , sifat massa dibedakan antar kistik atau padat
-True cut / Care biopsy
-Dilakukan dengan perlengkapan stereotactic biopsy mamografi untuk memandu jarum pada massa
-Incisi biopsy
-Eksisi biopsy
Hasil biopsi dapat digunakan selama 36 jam untuk dilakukan pemeriksaan histologik secara froxen section
F.  KOMPLIKASI
Metastase ke jaringan sekitar melalui saluran limfe (limfogen) ke paru,pleura, tulang dan hati.
G.  PENATALAKSANAAN MEDIS
Ada 2 macam yaitu kuratif (pembedahan) dan paliatif (non pembedahan).  Penanganan kuratif dengan pembedahan yang dilakukan secara mastektomi parsial, mastektomi total, mastektomi radikal, tergantung dari luas, besar dan penyebaran kanker.  Penanganan non pembedahan dengan penyinaran, kemoterapi dan terapi hormonal.
H. CARA PENCEGAHAN
1.Kesadaran SADARI dilakukan setiap bulan.
2.Berikan ASI pada Bayi.
Memberikan ASIpada bayi secara berkala akan mengurangi tingkat hormone tersebut. Sedangkan kanker payudara berkaitan dengan hormone estrogen.
3.jika menemukan gumpalan / benjolan pada payudara segera kedokter.
4.Cari tahu apakah ada sejarah kanker payudara pada keluarga. Menurut penelitian 10 % dari semua kasus kanker payudara adalah factor gen.
5.Perhatikan konsumsi alcohol. Dalam penelitian menyebutkan alcohol meningkatkan estrogen.
6.Perhatikan BB, obesitas meningkatkan risiko kanker payudara.
7.Olah raga teratur. Penelitian menunjukkan bahwa semakin kurang berolah raga, semakin tinggi tingkat estrogen dalam tubuh.
8.Kurangi makanan berlemak. Gaya hidup barat tertentu nampaknya dapat meningkatkan risiko penyakit.
9.Usia > 50 th lakukan srening payudara teratur. 80% Kanker payudara terjadi pada usia > 50 th
10.Rileks / hindari stress berat. Menurunkan tingkat stress akan menguntungkan untuk semua kesehatan secara menyeluruh termasuk risiko kanker payudara.

I. DIAGNOSIS YANG MUNCUL

1.Nyeri akut / kronis b/d agen injuri fisik
2.Risiko infeksi b/d imunitas tubuh primer menurun, prosedur invasive, penyakit
3. PK: Perdarahan
4.Cemas b.d status kesehatan
5.Deficite Knolage b.d Kurang paparan sumber informasi
6.Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis
7.Sindrom deficite self care b.d nyeri, kelemahan

RENPRA CA. MAMAE


No
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
1
Nyeri Akut b/d agen injuri fisik
Setelah dilakukan askep …. jam tingkat kenyamanan klien meningkat, nyeri terkontrol dengan KH:
-klien melaporkan nyeri berkurang, skala nyeri 2-3
-Ekspresi wajah tenang & dapat istirahat, tidur.
-v/s dbn (TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt, RR: 16-20x/mnt).
Manajemen nyeri :
-Kaji nyeri secara komprehensif ( Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi ).
-Observasi  reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
-Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.
-Berikan lingkungan yang tenang
-Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengatasi nyeri.
-Kolaborasi pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri.
-Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
-Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
-Monitor V/S
-Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.

2
Risiko infeksi b/d adanya luka operasi, imunitas tubuh menurun, prosedur invasive
Setelah dilakukan askep …. jam tidak terdapat  infeksi Terkontrol dg KH:
-Bebas dari tanda & gejala infeksi
-Angka lekosit normal (4-11.000)
-Suhu normal  (36-37 c)
Konrol infeksi :
-Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
-Batasi pengunjung bila perlu dan anjurkan u/ istirahat yang cukup
-Anjurkan keluarga untuk cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan klien.
-Gunakan sabun anti microba untuk mencuci tangan.
-Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
-Gunakan baju, masker dan sarung tangan sebagai alat pelindung.
-Pertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.
-Lakukan perawatan luka dan dresing infus,DC setiap hari.
-Tingkatkan intake nutrisi. & cairan yang adekuat
-Berikan antibiotik sesuai program.

Proteksi terhadap infeksi
-Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
-Monitor hitung granulosit dan WBC.
-Monitor kerentanan terhadap infeksi.
-Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.
-Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.
-Inspeksi keadaan luka dan sekitarnya
-Monitor perubahan tingkat energi.
-Dorong klien untuk meningkatkan mobilitas dan latihan.
-Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program.
-Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.dan melaporkan kecurigaan infeksi.

3
PK: Perdarahan
setelah dilakukan perawatan …..  jam perawat akan mengurangi komplikasi dari perdarahan dg KH:
-Perdarahan berkurang.
-HB > /= 10 gr %
-Pantau tanda dan gejala perdarahan pada luka / luka post operasi.
-Pantau laborat Hb, HMT. AT
-Kolaborasi untuk tranfusi bila  terjadi perdarahan (hb < 10 gr%)
-Kelola terpi sesuai order
-Pantau daerah yang dilakukan operasi
-Lakukan perawatan luka dengan hati-hati dengan menekan daerah luka dengan kassa steril dan tutuplah dengan tehnik aseptic basah-basah / kering-kering sesuai indikasi
-Pantau keadaan umum secara klinis

4
Cemas b.d status kesehatan
setelah dilakukan perawatan selama ….. jam cemas ps terkontrol dg KH :
-Ps Mengungkapkan cemas berkurang
-Dapat tidur dan rileks
-Pasien kooperatif saat dilakukan tindakan
Penurunan kecemasan
-Bina Hub. Saling percaya
-Libatkan keluarga dalam memberikan dukungan / suport mental dan spiritual
-Jelaskan semua Prosedur tindakan yang akan dilakukan
-Hargai pengetahuan ps tentang penyakitnya
-Bantu ps untuk mengefektifkan sumber support
-Berikan reinfocement untuk menggunakan Sumber Coping yang efektif
5
Deficite pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b.d Kurang paparan thdp sumber informasi, terbatasnya kognitif
setelah diberikan penjelasan selama …. pengetahuan klien dan keluarga meningkat dg KH:
-Ps mengerti proses penyakitnya dan Program prwtn serta Th/ yg diberikan dg:
-Ps mampu: Menjelaskan kembali tentang apa yang dijelaskan
-Pasien / keluarga kooperatif
Teaching : Dissease Process
-Kaji  tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang proses penyakit
-Jelaskan tentang patofisiologi penyakit, tanda dan gejala serta penyebabnya
-Sediakan informasi tentang kondisi klien
-Berikan informasi tentang perkembangan klien
-Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau kontrol proses penyakit
-Diskusikan tentang pilihan tentang terapi atau pengobatan
-Jelaskan alasan dilaksanakannya tindakan atau terapi
-Gambarkan komplikasi yang mungkin terjadi
-Anjurkan klien untuk mencegah efek samping dari penyakit
-Gali sumber-sumber atau dukungan yang ada
-Anjurkan klien untuk melaporkan tanda dan gejala yang muncul pada petugas kesehatan

6
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis, biologis ( mual, muntah )

Setelah dilakukan asuhan keperawatan …  jam klien menunjukan status nutrisi adekuat dengan KH:
-BB stabil
-tingkat energi adekuat
-masukan nutrisi adekuat
Manajemen Nutrisi
-Kaji adanya alergi makanan.
-Kaji makanan yang disukai oleh klien.
-Kolaborasi team gizi untuk penyediaan nutrisi TKTP
-Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisi TKTP dan banyak mengandung vitamin C
-Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk mencegah konstipasi.
-Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
-Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.

Monitor Nutrisi
-Monitor BB jika  memungkinkan
-Monitor respon klien terhadap situasi yang mengharuskan klien makan.
-Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan waktu klien makan.
-Monitor adanya mual muntah.
-Kolaborasi untuk pemberian terapi sesuai order
-Monitor adanya gangguan dalam input makanan misalnya perdarahan, bengkak dsb.
-Monitor intake nutrisi dan kalori.
-Monitor kadar energi, kelemahan dan kelelahan.
7
Sindrom defisit self care b/d kelemahan, penyakitnya
Setelah dilakukan askep … jam klien dan keluarga dapat merawat diri : activity daily living (adl) dengan kritria :
-Kebutuhan klien sehari-hari terpenuhi (makan, berpakaian, toileting, berhias, hygiene, oral higiene)
-Klien bersih dan tidak bau.
Bantuan perawatan diri
-Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri yang mandiri
-Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian, toileting dan makan, berhias
-Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat diri
-Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
-Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai kemampuannya
-Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin
-Dorong untuk melakukan secara mandiri tapi beri bantuan ketika klien tidak mampu melakukannya.
-Berikan reinforcement positif atas usaha yang dilakukan.